Kamis, 24 Desember 2009

KHASANAK






Abad 10 Oleh : Redaksi 27 Sep 2009 - 1:00 pm

Puluhan karya yang ditulisnya merupakan bukti kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki Al-Ghazali.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii atau lebih dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh Muslim terkemuka sepanjang zaman.

Ia dikenal sebagai seorang ulama, filsuf, dokter, psikolog, ahli hukum, dan sufi yang sangat berpengaruh di dunia Islam.

Selain itu, berbagai pemikiran Algazel--demikian dunia Barat menjulukinya--juga banyak mempengaruhi para pemikir dan filsuf Barat pada abad pertengahan.

Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sungguh fenomenal. ''Tak diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa,'' tutur Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang diterbitkan di London, Inggris, tahun 1944.
0 Komentar | dibaca 900 hits - Baca Lanjut

Abad 20 Oleh : Redaksi 12 Aug 2009 - 1:00 am

Oz telah menulis lebih dari 350 publikasi orisinil, baik berupa buku artikel, tentang kesehatan.

Di era kekhalifahan, peradaban Islam memiliki sederet dokter terkemuka. Berkat jasa para dokter Muslim di masa keemasan, dunia kedokteran modern bisa berkembang pesat seperti sekarang. Pada abad pertengahan umat Islam memiliki al-Zahrawi, seorang ahli bedah nomor wahid.

Kini, di millenium baru ini, Islam pun memiliki dokter bedah yang tak kalah hebatnya. Dokter Muslim yang diakui dunia itu bernama Mehmet C Oz. Ia merupakan dokter bedah paling populer Amerika Serikat (AS). Kiprah gemilang Oz sebagai ahli bedah jantung di AS diakui Majalah New York.

Sejak 1996, nama Oz selalu bertengger dalam jajaran Top Doctor di Majalah New York. Pada 2008, ia ditabalkan sebagai 100 tokoh berpengaruh di dunia versi majalah Times. Oz adalah seorang guru besar Ilmu Bedah Jantung pada Columbia University. Dia juga tercatat memimpin Heart Assist Device Program.
0 Komentar | dibaca 858 hits - Baca Lanjut

Oleh : Redaksi 26 Jul 2009 - 2:56 am

Al-Razi, Ibnu al-Jazzar, al-Zahrawi serta Ibnu Sina merupakan dokter-dokter Muslim legendaris yang lahir di era kekhalifahan. Nama dan buah pikir yang mereka sumbangkan bagi kemajuan peradaban manusia telah diakui masyarakat dunia dari zaman ke zaman. Kontribusi para dokter Muslim itu sangat besar pengaruhnya bagi dunia kedokteran modern.

Salah satu sumbangan yang diberikan keempat dokter Muslim bagi dunia kedokteran modern adalah dalam bidang urologi. Urologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang khusus menangani bedah ginjal dan saluran kemih serta alat reproduksi.

Keempat dokter Muslim itu mengkaji dan membahas tentang urologi dalam buku kedokteran yang mereka tulis.

Prof Rabie E Abdel-Halim dalam tulisannya bertajuk Paediatric Urology 1000 Years Ago, mengungkapkan keberhasilan dunia kedokteran Muslim pada 1.000 tahun silam dalam bidang urologi.
0 Komentar | dibaca 334 hits - Baca Lanjut

Abad 13 Oleh : Redaksi 14 Jul 2009 - 9:00 pm

Peradaban Barat kerap mengklaim Nicolaus Copernicus (1473 – 1543 M) sebagai tokoh pencetus teori heliosentrisme Tata Surya. Sejarawan astronomi menemukan fakta, ide matematika antara buku Copernicus yang berjudul “De Revolutionibus” memiliki kesamaan dengan sebuah buku yang pernah ditulis seratus tahun sebelumnya oleh ilmuwan Muslim Arab, Ibnu Al-Shatir (1304-1375 M) .

Kitab yang menjadi rujukan Copernicus itu bertajuk “Kitab Nihayat Al-Sul Fi Tashih al-Usul”. Itu berarti, pemikiran al-Shatir telah mempengaruhi Copernicus. Siapakah al-Shatir sebenarnya? Ilmuwan Muslim itu bernama Ala Al-Din Abu'l-Hasan Ali ibnu Ibrahim ibnu al-Shatir. Ia merupakan seorang astronomer Muslim Arab, ahli matematika, ahli mesin teknik dan penemu.

Ibnu Al-Shatir merombak habis Teori Geosentris yang dicetuskan Claudius Ptolemaeus atau Ptolemy (90 SM– 168 SM). Secara matematis, al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle yang rumit (sistem lingkaran dalam lingkaran).
0 Komentar | dibaca 531 hits - Baca Lanjut

Artikel Oleh : Redaksi 21 Jun 2009 - 3:15 am


Imam Bukhari

Setiap penyakit pasti ada obatnya. Demikian sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. Muhammad ibnu Ismail al-Bukhari (810 M-870 M) juga menegaskan hal tersebut dalam karyanya Sahih Bukhari, “Tidak ada penyakit yang dibuat oleh Allah tanpa ada pengobatannya.

Allah menciptakan penyakit, Allah pula yang menyembuhkannya melalui seorang perantara, yaitu dokter. Dokter dipercaya menjadi seorang khalifah oleh Allah, untuk membantu menyembuhkan penyakit yang diderita pasien. Nidai, seorang dokter di abad ke- 16 M pernah mencoba memberikan nasihat kepada rekan-rekannya sesama dokter. Ia meminta kepada mereka untuk tidak berbangga diri karena berhasil menyembuhkan pasien.

Menurutnya, seorang dokter harus percaya bahwa kesembuhan datangnya dari Allah. "Jangan katakan saya telah menyembuhkan pasien, sebab asumsi itu adalah dusta".
0 Komentar | dibaca 755 hits - Baca Lanjut

Abad 20 Oleh : Redaksi 13 Jun 2009 - 1:30 am


Ahmad Mahmoud : Pemuda Muslim berotak cemerlang. Salah satu andalan NASA

Musim kelulusan di belahan dunia barat, termasuk Amerika dianggap kesempatan bagi generasi baru Muslim untuk bersinar. Ahmad Mahmoud adalah salah satu lulusan istimewa tahun ini dengan cerita menarik untuk dituturkan.

Mahmoud adala sosok yang selalu ingin menemukan topik baru untuk dibicarakan. Ia selalu memiliki ide dan teori baru dalam pikirannya dan tidak keberatan membaginya dengan siapapun yang mau mendengar.

Tumbuh besar sebagai pemeluk Islam di New Jersey, AS, ia pun tak ubahnya seperti murid lain di sekolah Umum yang selalu menantang guru-gurunya. Ia melanjutkan pendidikan tinggi di Teknik Antariksa di Universitas Rutgers, New Jersey.

Otaknya yang selalu aktif akhirnya menuntunnya mengambil proyek desain tugas akhir unik, disusul mendapat beasiswa magang di Nasa, hingga memperoleh kesempatan karir tak kalah unik.
0 Komentar | dibaca 1021 hits - Baca Lanjut

Abad 09 Oleh : Redaksi 30 May 2009 - 9:00 pm

Guru ketiga setelah al-Farabi. Gelar itu ditabalkan kepada Ibnu Miskawaih, seorang ilmuwan agung kelahirkan Ray, Persia (sekarang Iran) sekitar tahun 320 H/932 M. Ia merupakan seorang ilmuwan hebat, bahkan ia juga dikenal sebagai seorang filsuf, penyair, dan sejarawan yang sangat terkenal.

Ia terlahir pada era kejayaan Kekhalifahan Abbasiyyah. Ibnu Maskawaih adalah seorang keturunan Persia, yang konon dulunya keluarganya dan dia beragama Majuzi dan pindah ke dalam Islam. Ibnu Maskawaih berbeda dengan al-Kindi dan al-Farabi yang lebih menekankan pada aspek metafisik, ibnu Maskawaih lebih pada tataran filsafat etika seperti al-Ghazali.

Sejarah dan filsafat merupakan dua bidang yang sangat disenanginya. Sejak masih muda, ia dengan tekun mempelajari sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi pustakawan Ibnu al-‘Abid, tempat dia menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit.
0 Komentar | dibaca 637 hits - Baca Lanjut

Bayi Ajaib yang Lahir dengan Teks Qur’an!!

Bayi Ajaib yang Lahir dengan Teks Qur’an!!! International Oleh : Redaksi 16 Oct, 09 - 11:00 pm

0 Komentar | dibaca 3112 hits - Baca Lanjut

Domestik Oleh : Redaksi 09 Oct, 09 - 11:00 pm

1 Komentar | dibaca 341 hits - Baca Lanjut

International Oleh : Redaksi 24 Sep, 09 - 10:00 pm

0 Komentar | dibaca 788 hits - Baca Lanjut

Domestik Oleh : Redaksi 17 Aug, 09 - 11:30 pm

0 Komentar | dibaca 643 hits - Baca Lanjut

Domestik Oleh : Redaksi 18 Jul, 09 - 1:00 am


Ba’asyir: Itu Makar Orang Kafir!

Jakarta - Sembilan orang tewas dalam ledakan di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, sekitar pukul 07.40 WIB. Dalam rekaman yang beredar, terlihat seorang memakai topi dengan membawa tas trolly di tengah lobi. Tak lama kemudian, terjadi ledakan.

Berdasarkan rekaman video yang ditayangkan TvOne, dari dalam Hotel Ritz Carlton terlihat seorang membawa tas dari depan hotel pagi tadi, Jumat, 17 Juli 2009.

Pria mengenakan baju berwarna gelap itu mengenakan topi dan membawa dua tas. Satu tas berjenis trolly yang diseret dengan tangan kanan, satu tas lainnya dijinjing di bahu kanan. Dalam video itu terlihat pelaku sudah masuk ke dalam lobi dan langsung mengambil ke arah kanan. Sejumlah petugas di dekat detektor logam terlihat sudah memperhatikan si orang mencurigakan itu.
0 Komentar | dibaca 2159 hits - Baca Lanjut

International Oleh : Redaksi 08 Jul, 09 - 2:00 am


Tahukah anda? Makkah sekarang sudah seperti Las Vegas?

Malam sudah hampir mencapai pertengahan, dan suasana sunyi memenuhi jalanan besar di antara gurun dan laut, ketika sekelompok anak muda Saudi berkumpul. Jumlahnya ratusan.

Sekitar pukul 01.00 diini hari, jumlahnya sudah tak lagi terhitung, dan mereka berdiri di samping mobil-mobilnya yang mewah dan glamour, saling memandang, dan memberi isyarat, bahwa beberapa polisi masih berpatroli.

Lalu, ketika polisi itu sudah lenyap, suara mesin mobil mulai menyala. Sedetik kemudian, Corvette kuning dan Mitsubishi merah membelas jalanan, digas dengan kencang sekencang-kencangnya. Suaranya meraung-raung, memekakkan telinga dan mengganggu siapapun yang berada di dekatnya.
0 Komentar | dibaca 1816 hits - Baca Lanjut

International Oleh : Redaksi 28 Apr, 09 - 4:30 am


Tahukah anda? Makkah sekarang sudah seperti Las Vegas?

Arab Saudi, seperti juga negara-negara lain yang bergelimang harta, terus melakukan modernisasi. Selain secara pemikiran, seperti diangkatnya seorang perempuan dalam jajaran kementrian di negara itu, juga pembangunan fisik pun dilakukan. Tetapi, pengembangan Arab Saudi, khususnya kota suci Makkah dan Madinah akhir-akhir ini tidak memedulikan situs-situs sejarah Islam.

Makin habis saja bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah SAW dan sahabatnya.

Bangunan-bangunan itu dibongkar karena berbagai alasan, namun sebagian besar karena ingin menyesuaikan dengan kota-kota besar di dunia lainnya. Bahkan sekarang, tempat kelahiran Nabi SAW terancam akan dibongkar untuk perluasan tempat parkir.
0 Komentar | dibaca 5923 hits - Baca Lanjut

"Mengapa Tega Mencaci al-Quran dan Sahabat Nabi?"

"Mengapa Tega Mencaci al-Quran dan Sahabat Nabi?"

Katagori : Counter Liberalisme
Oleh : Redaksi 20 May 2005 - 6:30 pm

imageimageTren baru liberalisme adalah ‘mencaci al-Qur’an’, menghina ulama, tapi mendewa-dewakan orientalis.

Sebagian pendukung paham sekularisme dan liberalisme mungkin tidak sadar, bahwa penyebaran paham ini sejatinya bagaikan membuka sebuah kotak pandora. Saat kotak itu terbuka, maka terjadilah peristiwa-peristiwa tragis yang susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi. Paham ini – yang biasanya berlindung dibalik jargon “pencerahan” dan “kebebasan berpikir” – menyimpan agenda-agenda dahsyat berupa penghancuran agama itu sendiri. Liberalisasi yang tanpa kendali telah terbukti menjadi senjata pemusnah masal buat agama-agama.

Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema sekularisasi dan liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, yang bebas dari kesalahan. Sebagaimana kita bahas dua pekan lalu, sekarang sudah banyak orang dari kalangan Muslim sendiri yang bekerja keras untuk meruntuhkan otentisitas al-Quran sebagai Kitab Suci umat Islam. Ibarat dalam satu peperangan, para penghujat al-Quran ini laksana menikam kaum Muslimin dari belakang.

Diantara tulisan-tulisan itu ada yang dikemas halus dan cukup ilmiah, sehingga tidak mudah bagi kebanyakan kaum Muslim untuk mengkritiknya. Tapi, ada juga penulis yang menggunakan bahasa yang kasar dan caci maki terhadap al-Quran, para sahabat, dan para ulama Islam.

Dalam acara bedah buku Prof. Musthafa A’zhami, The History of The Quranic Text, di Universitas Islam Negeri Jakarta, 12 Mei 2005, saya menunjukkan beberapa buku yang kini tersebar bebas dan secara terang-terangan menyerang kesucian al-Quran. Beberapa diantaranya sudah kita ungkap dalam catatan terdahulu. Ada satu buku lagi berjudul “Lobang Hitam Agama” (2005) yang secara terbuka mencaci maki al-Quran dan para sahabat Nabi.

Di dalam buku ini tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:

“Bahkan sesungguhnya hakikat al-Quran bukanlah “teks verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan Usman itu melainkan gumpalan-gumpalan gagasan.” (hal. 42).

“Al-Quran bagi saya hanyalah berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian dirumuskan redaksinya oleh Nabi.” (hal. 42).


"Oleh karena itu, Nabi, sahabat, dan pengalaman komunitas Mekkah dan Madinah (tajribatul madinah wa makkah) pada hakikatnya adalah “co-author” karena ikut “menciptakan” al-Quran.” (hal. 43).

“Seandainya (sekali lagi seandainya) Pak Harto berkuasa ratusan tahun, saya yakin Pancasila ini bisa menyaingi al-Quran dalam hal “keangkerannya” tentunya.” (hal. 64).

“Al-Quran, sehingga menjadi “Kitab Suci” (sengaja saya pakai tanda kutip) juga tidak lepas dari peran serta “tangan-tangan gaib” yang bekerja di balik layar maupun diatas panggung politik kekuasaan untuk memapankan status al-Quran. Dengan kata lain, ada proses historis yang amat pelik dalam sejarah pembukuan al-Quran hingga teks ini menjadi sebuah korpus resmi yang diakui secara konsensus oleh semua umat Islam. Proses otorisasi sepanjang masa terhadap al-Quran menjadikan kitab ini sebuah scripto sacra yang disanjung, dihormati, diagungkan, disakralkan dan dimitoskan. Padahal sebagian dari proses otorisasi itu berjalan dan berkelindan dengan persoalan-persoalan politik yang murni milik Bangsa Arab. Bahkan proses turunnya ayat-ayat al-Quran sendiri tidak lepas dari “intervensi” Quraisy sebagai suku mayoritas Arab.” (hal. 65)

“Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika dikatakan, al-Quran, dalam batas tertentu, adalah “perangkap” yang dipasang bangsa Quraisy (a trap of Quraisy).” (hal. 65).

“Kita tahu, al-Quran yang dibaca oleh jutaan umat Islam sekarang ini adalah teks hasil kodifikasi untuk tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara Khalifah Usman (644-656M) dengan panitia pengumpul yang dipimpin Zaid bin Tsabit, sehingga teks ini disebut Mushaf Usmani.” (hal. 65).

“Maka, penjelasan mengenai al-Quran sebagai “Firman Allah” sungguh tidak memadai justru dari sudut pandang internal, yakni proses kesejarahan terbentuknya teks al-Quran (dari komunikasi lisan ke komunikasi tulisan) maupun aspek material dari al-Quran sendiri yang dipenuhi ambivalensi. Karena itu tidak pada tempatnya, jika ia disebut “Kitab Suci” yang disakralkan, dimitoskan.” (hal. 66)

“Dalam konteks ini, anggapan bahwa al-Quran itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada al-Quran (juga kitab lain) adalah “kesucian palsu” – pseudo sacra. Tidak ada teks yang secara ontologis itu suci.” (hal. 67).

“Setiap teks memiliki keterbatasan sejarah. Karena itu, setiap generasi selalu muncul “agen-agen sejarah” yang merestorasi sebuah teks. Musa, Jesus, Muhammad Sidharta, Lao Tze, Konfusius, Zarasthutra, Martin Luther, dan lainnya adalah sebagian kecil dari contoh agen-agen sejarah yang melakukan restorasi teks. Tapi produk restorasi teks yang mereka lakukan bukanlah sebuah “resep universal” yang shalih likulli zaman wa makaan (kompatibel di setiap waktu dan ruang). Mereka tidak hadir di ruang hampa, mereka datang di tengah-tengah kehidupan manusia yang beragam dengan cita rasa yang berlainan pula. Jika mereka sudah melakukan restorasi teks atas teks sebelumnya, maka generasi pasca mereka mestinya melakukan hal yang sama dengan apa yang telah mereka lakukan: restorasi teks. Berpegang teguh secara utuh terhadap sebuah teks sama saja dengan berpegangan barang rongsokan yang sudah usang.” (hal. 70-71).


Begitulah tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku yang terbit di Yogyakarta tersebut. Ajaibnya, buku seperti ini mendapat pujian berbagai tokoh. Dr. Moeslim Abdurrahman, cendekiawan Muhammadiyah menulis bahwa buku ini, “perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin ber-taqarrub untuk mencari kebenaran.”

Ahmad Tohari, budayawan, penulis kolom resonansi di Harian Republika, juga menulis, “Buku ini menawarkan ruang luas bagi pemahaman agama yang manusiawi karena asas pluralisme yang diusungnya.” Penulis buku ini juga disebut dibagian awal buku sebagai ‘pemikir muda Indonesia “paling menonjol” saat ini, terutama dalam bidang sosiologi agama’. Dalam pengantar buku, seorang Direktur Freedom Institute, menyebutkan, bahwa buku ini perlu diapresiasi dan disambut dengan baik. Tentu saja, kita patut mengapresiasi dan menyambut baik semua karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi, yang didukung dengan data-data yang baik dan jujur.

Tetapi, kita juga wajib menguji dan menilai, apakah memang buku semacam ini merupakan buku ilmiah yang layak diperhitungkan. Jika ditelaah secara cermat, banyak isi buku ini yang lebih merupakan khayalan, luapan emosi, dendam, dan kemarahan penulisnya.

Misalnya, di bagian awal bukunya, penulis menyebutkan: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!”

Bukankah cerita seperti ini hanya sebuah khayalan dan fantasi? Sorga yang sudah dikunjungi si penulis? Lihatlah, juga, dalam memandang al-Quran, penulis menggunakan nada-nada kecaman keras dan penghinaan kepada Sayyidina Usman r.a. Padahal, tindakan beliau dalam memprakarsai penghimpunan al-Quran diakui dan dihormati oleh kaum Muslimin. Semua sahabat Nabi ketika itu menyetujuinya. Bahkan, Sayyidina Ali r.a. yang memiliki Mushaf pribadi juga menyatakan: “Demi Allah, dia (Utsman r.a.) tidak melakukan apa-apa dengan Mushaf tersebut, kecuali dengan persetujuan kami semua.”

Ulama besar Abu ‘Ubayd juga pernah berkata: “Usaha Utsman (r.a.) mengkodifikasi al-Quran akan tetap dan sentiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang dikalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.”

Jika memang Mushaf Utsmani terkait dengan rekayasa politik Utsman r.a. untuk mengokohkan kedudukannya dan kedudukan kaum Quraisy, maka logikanya, sepeninggal beliau, tentunya akan datang silih berganti penguasa-penguasa yang membuat Mushaf baru. Sepeninggal Bani Umayyah, mestinya Bani Abbasiyah juga membuat al-Quran baru. Begitu juga Bani Batimiyah, Bani Utsmaniyah, dan seterusnya. Tapi, semua ini tidak terjadi dalam sejarah kaum Muslimin. Bagaimana pun kerasnya pertentangan politik, tidak sampai mereka terpikir untuk membuat al-Quran baru, menghujat Sayyidina Utsman, apalagi menghinanya.

Ketika kita mendiskusikan buku Prof. A’zhami yang begitu serius dan berkualitas ilmiah tinggi, lalu kita membaca buku “Lobang Hitam Agama” ini, tampak dengan jelas, bagaimana rendahnya kualitas ilmiah buku ini. Entah apa yang menyebabkan penulis buku ini seperti menyimpan dendam dan kebencian yang begitu besar terhadap al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw yang mulia. Padahal, penulis yang alumnus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini begitu hormat terhadap seorang orientalis bidang al-Quran bernama Arthur Jeffery, dan mengutip pendapatnya tanpa kritis. (hal. 65).

Jika dengan Jeffery dia begitu hormat, ternyata tidak sebaliknya dengan para sahabat, khususnya Sayyidina Utsman. Padahal, sudah begitu banyak kajian kritis terhadap karya-karya Arthur Jeffery tentang al-Quran. Prof. A’zhami sendiri dalam bukunya banyak memberikan kritik-kritik dan membongkar kekeliruan Jeffery. Tetapi, penulis yang dipuji-puji sebagai pemikir muda yang menonjol ini tidak mempedulikan studi kritis semacam itu, dan lebih suka melampiaskan hawa nafsunya untuk “menghabisi” Mushaf Usmani.

Kita sebenarnya sangat berharap munculnya pemikir-pemikir muda muslim yang jujur, ikhlas, tawadhu’, dan serius dalam kajiannya. Jika penulis ini berpendapat bahwa Rasulullah saw adalah yang menyusun redaksi al-Quran, mestinya dia menyertakan bukti-buktinya. Bukankah pendapat ini adalah tidak lebih dari sebuah khayalan?

Berwacana memang tidak dilarang. Tetapi, menyebarkan pemikiran-pemikiran yang salah, mengandung konsekuensi tanggung jawab yang berat di akhirat nanti. Karena itu, kita mengingatkan, semoga penulis buku itu bertobat dan mengaji yang serius dan ikhlas tentang Islam. Sayang sekali jika potensi akal cerdas yang diberikan oleh Allah SWT justru digunakan untuk menyesatkan umat manusia. Kasihan dirinya, kasihan orang tuanya yang nantinya hanya mengharapkan doa dari anak yang shalih, bukan anak yang salah. Jika ada gagasan baru, sebaiknya gagasan ini didiskusikan secara terbatas, dikaji mendalam, dikonsultasikan dengan para ulama yang otoritatif dalam keilmuan, sebelum dilemparkan keluar. Wallahu a’lam. (Jakarta, 13 Mei 2005/Hidayatullah.com)

"Al-Quran Edisi Kritis"


"Al-Quran Edisi Kritis"

Katagori : Counter Liberalisme
Oleh : Redaksi 17 Dec 2007 - 3:00 am

Oleh: Adian Husaini
imageimageSeperti kita bahas dalam dua kali catatan sebelumnya, dalam acara Konferensi Tahunan tentang Studi Islam (ACIS) VII di Riau, 21-24 November 2007, kepada para peserta dibagikan buku murid Nasr Hamid Abu Zaid, yaitu Dr. Nur Kholish Setiawan, yang berjudul Orientalisme, Al-Quran, dan Hadis. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan karangan sejumlah akademisi di UIN Yogya, antara lain Dr. Sahiron Syamsuddin, yang juga alumnus salah satu studi Islam di Jerman.

Dalam buku ini, dimuat artikel pembuka oleh Dr. Nur Kolish yang berjudul “Orientalisme Al-Quran: Dulu, Kini, dan Masa Datang.” Dalam tulisan inilah, kita bisa menikmati pandangan berbagai orientalis terhadap Al-Quran.

Dengan sangat bagus dan artikulatif, Nur Kholish menguraikan pemikiran-pemikiran para orientalis Al-Quran, seperti Abraham Geiger, Theodore Nöldeke, Christoph Luxenberg, Reiner Brunner, dan sebagainya. Tapi, sayang sekali, hampir tidak ada kritik yang diberikan terhadap pemikiran para orientalis tersebut. Bahkan, pada beberapa bagian, dia menekankan gagasannya, bahwa Al-Quran yang sekarang dipegang oleh kaum Muslimin masih bermasalah dan perlu dikritisi.

Karena itulah, Nur Kholish mempromosikan gagasan perlunya diterbitkan Edisi Kritis Al-Quran yang telah digagas oleh para orientalis Jerman. Ia menulis:
”Apparatus criticus zum Koran, rencana penerbitan edisi kritis Al-Quran yang digagas oleh Gotthelf Bergsträsser serta dilanjutkan oleh Otto Pretzl merupakan indikator akan perhatian terhadap edisi kritis teks Al-Quran, meski upaya tersebut belum bisa terwujud. Munculnya gagasan riset Bergsträsser dilandasi oleh terbitnya cetakan mushaf al-imam edisi Cairo pada tahun 1923 yang menjadi panduan baku umat Islam di seluruh dunia. Sementara, menurut Bergsträsser, penyeragaman baik cara baca, qira’ah, maupun ortografi Al-Quran meniadakan keragamannya, tanpa disertai dengan alasan-alasan akademis yang jelas. Dengan demikian, riset yang belum tuntas tersebut berkeinginan memberikan rekonstruksi terhadap keragaman cara baca dan ortografi Al-Quran yang ”dihilangkan” dalam mushaf edisi Cairo 1923.” (hal. 9).


Sebagaimana dalam tradisi orientalis, dalam tulisannya ini, murid kesayangan Nasr Hamid Abu Zaid ini juga rajin mengungkap data-data pinggiran yang seolah-olah menunjukkan bahwa masih ada masalah dalam Al-Quran. Dia menulis panjang lebar pendapat Brunner yang mengutip sebagian penulis Syiah, bahwa Utsman bin Affan telah melakukan perubahan (tahrif) terhadap Al-Quran. Nur Kholish menulis dengan nada bersemangat untuk menggugat otoritas Al-Quran:
“Data-data yang ditampilkan Brunner mengenai wacana tahrif dalam Syi’ah semenjak abad ke-16 sampai dengan 19 menunjukkan bahwa “perlawanan” kaum Syi’ah terhadap dominasi mushaf Utsman seakan tidak pernah henti. Karya-karya kesarjanaan yang dilahirkan, baik dalam wilayah tafsir, hadits, maupun disiplin keislaman lainnya menjadi pengokoh, bahwa ada something wrong dalam penyusunan, unifikasi dan kodifikasi mushaf yang dilakukan pada kekhalifahan Utsman ibn ‘Affan.”


Karena itulah, pada bagian berikutnya, dosen UIN Yogya ini kemudian menekankan, bahwa proyek untuk mewujudkan Edisi Kritis Al-Quran tersebut masih tetap berjalan hingga kini. Dia menulis:
”Meski demikian, tidaklah berarti bahwa proyek riset mengenai sejarah teks dan ortografinya telah selesai. Sejak tahun 2006, telah muncul proyek penelitian baru yang disponsori oleh Berlin Brandenburgische Akademic der Wissinchaft , sebuah lembaga riset milik pemerintah negara bagian Berlin-Brandenburg, mengenai edisi kritis teks Al-Quran. Proyek ini dilandasi kenyataan bahwa Al-Quran edisi kritis sampai saat ini belum ada. Sedangkan tujuan dari proyek ini bukanlah untuk menggantikan teks Al-Quran edisi cairo 1923 yang sampai sekarang menjadi satu-satunya mushaf yang beredar di seluruh penjuru Muslim. Sebaliknya, proyek dimaksudkan untuk menampilkan dokumentasi teks yang dijadikan sebagai pijakan dimungkinkannya melakukan kritik teks. Disamping itu, ia juga dimaksudkan dijadikan pijakan telaah sejarah teks, khususnya dalam kaitannya dengan keragaman tradisi lisan dan tulisan. Sedangkan tujuan yang ketiga adalah menjadikan dokumentasi teks tersebut sebagai pijakan melakukan sesuatu yang “belum lazim” dalam kesarjanaan Muslim, yakni proses kesejarahan dan proses perkembangan teks Al-Quran itu sendiri.” (hal. 38-39).


Lebih jauh dijelaskan oleh Nur Kholish, bahwa pijakan riset yang digunakan oleh proyek ini adalah upaya yang telah dilakukan oleh Otto Pretzel, Bergsträsser dan Arthur Jeffery yang telah mengumpulkan qira’ah syadz dalam pembacaan Al-Quran serta jenis tulisan yang beragam dalam manuskrip Al-Quran.
“Uraian di atas menunjukkan bahwa kajian Al-Quran dalam kesarjanaan non-Muslim cukup dinamis dan berkesinambungan. Temuan-temuan sarjana pendahulu semisal Geiger, Noldeke, dan beberapa nama lain terus-menerus dielaborasi oleh para sarjana berikutnya. Terlepas dari motif yang melatarbelakangi, nuansa akademik yang bisa ditangkap adalah penggunaan pelbagai metode dan pendekatan dalam melakukan pengkajian terhadap Al-Quran. Dalam wilayah ini, Al-Quran tidak ditempatkan pada wilayah yang “sakral” dan sarat dengan pelbagai nilai keutamaan religius, seperti yang diyakini oleh umat Muslim, melainkan ditempatkan sebagai sesuatu yang bisa disentuh dengan pendekatan sosial-humaniora, sejarah pada khususnya. (hal. 38-40).


Begitulah uraian Dr. Nur Kholish Setiawan tentang gagasan Al-Quran Edisi Kritis, atau Edisi Kritis Al-Quran. Seperti kita ketahui, ide membuat Edisi Kritis Al-Quran di Indonesia, pernah dilontarkan oleh Taufik Adnan Amal, dosen UIN Makasar yang juga pernah kuliah di Jerman. Di dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan Jaringan Islam Liberal (2002:78) dimuat sebuah tulisan berjudul “Edisi Kritis Alquran”, karya Taufik Adnan Amal. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa masih ada persoalan dengan “validitas” teks Alquran yang oleh kaum Muslim telah dianggap tuntas.

Rencana penulisan Al-Quran Edisi Kritis itulah yang kemudian dikritik oleh Dr. Ugi Suharto, melalui dialog langsung dengan saudara Taufik Adnan Amal. Dalam soal qiraat, misalnya, Taufik mengajukan pemikiran tentang perlunya digunakan qiraat pra-Utsmani. Dalam emailnya kepada Dr. Ugi, Taufik menulis:
“Kenapa qiraat di luar tradisi utsmani digunakan? Alasannya sederhana sekali: kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding Idalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi dalam postingnya yang terdahulu: Bacaan "ibil" (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan "al-sama'" (langit), "al-jibal" (gunung-2), dan "al-ardl" (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel "lam", yakni "ibill" (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Demikian pula, bacaan Ubay dan Ibn Mas'ud "min dzahabin" untuk 17:93, memiliki makna yang lebih tegas dibanding bacaan "min zukhrufin" dalam teks utsmani. Masih banyak contoh lainnya yang bisa dielaborasi untuk butir ini.”


Lalu, terhadap gagasan ini, Dr. Ugi menjelaskan kepada Taufik Adnan Amal:
”Contoh-contoh qira'ah yang Anda kemukakan untuk dijadikan Quran Edisi Kritis itu sudah diketahui oleh para sarjana. Mereka tidak keliru seperti Anda, dengan mencampur-adukkan antara qira'ah dan Al-Quran. Contoh "ibil" dengan "ibill" yang Anda pilih juga sudah diketahui lama oleh mereka. Lihat saja dalam tafsir al-Qurtubi yang bagi Anda menterjemahkannya itu sama dengan status quo alias mandeg. Saya akan buktikan bahwa Anda belum melampaui apa-apa dari Imam al-Qurtubi itu dan Anda mungkin belum membacanya juga mengenai "ibil" (takhfif) dan "ibill" (tatsqil) disitu. Dalam tafsir itu dikatakan oleh imam al-Mawardi bahwa perkataan "ibil" (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang membawa hujan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa rasm "ibil" itu bisa memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan apabila ditulis "ibill" (tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata. Jadi mana yang lebih komprehensif menurut "akal" Anda? Satu lagi, menurut al-Qurtubi perkataan "ibil" itu mu'annats (feminin) oleh itu sesuai dengan ayatnya "khuliqot". Bagaimana dengan "ibill"?”


Demikianlah, kita bisa melihat, bahwa gagasan untuk membuat Al-Quran Edisi Kritis yang dimunculkan oleh para orientalis Jerman dan murid-muridnya di Indonesia ternyata masih terus disebarkan. Jika dulu gagasan seperti ini hanya tersimpan di buku-buku orientalis Yahudi-Kristen di pusat-pusat studi Al-Quran Barat, kini gagasan itu mulai diusung secara resmi dalam ruang kuliah di kampus Islam dan forum Konferensi Tahunan Studi Islam di Indonesia. Kita patut kagum terhadap para orientalis yang telah berhasil mendidik kader-kadernya dengan baik, sehingga menjadi penyambung lidah mereka.

Sebenarnya, kita yakin, para murid orientalis Yahudi-Kristen ini tidak akan mampu mewujudkan Al-Quran Edisi Kritis. Barangkali, mereka juga sadar akan hal itu, karena untuk ini mereka sangat tergantung kepada ”tuan-tuan” mereka di Barat. Hanya saja, sepak terjang mereka sepertinya lebih ditujukan untuk menebar virus keraguan (tasykik) terhadap otentisitas Al-Quran.

Kepada penggagas Al-Quran Edisi Kritis, Dr. Ugi Suharto juga mengingatkan nasehat Abu ‘Ubayd yang pernah berkata:
“Usaha Utsman (r.a.) mengkodifikasi Al-Quran akan tetap dan sentiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.”


Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf Al-Quran yang telah disepakati seluruh kaum Muslim, sejak awal, hingga kini, dan sampai akhir zaman. Para sahabat, termasuk Ali r.a. pun semua menyepakati otoritas Mushaf Utsmani. Dalam bukunya, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis (2006), Adnin Armas, telah banyak mengklarifikasi pemikiran-pemikiran para orientalis yang meragukan otentisitas Al-Quran. Sayyidina Ali sendiri menyatakan: ”Seandainya Utsman belum melakukannya, maka aku yang melakukannya.”

Kita bisa memahami jika para orientalis Yahudi-Kristen berusaha meruntuhkan otoritas Al-Quran, karena Al-Quran adalah satu-satunya Kitab yang memberikan kritik secara mendasar terhadap Kitab mereka. Karena itu, meskipun mereka bertahun-tahun mendalami Al-Quran, tetap saja mereka tidak beriman kepada Al-Quran. Tetapi, kita tidak mudah memahami, mengapa ada orang dari kalangan Muslim yang berhasil dicuci otaknya sehingga menjadi penyambung lidah para orientalis untuk menyerang Al-Quran. Kita patut kasihan, jauh-jauh belajar Al-Quran ke luar negeri akhirnya pulang ke Indonesia justru menjadi ragu dan menyebarkan keraguan tentang Al-Quran. Mudah-mudahan kita semua terhindar dari ilmu yang tidak bermanfaat; yakni ilmu yang tidak membawa kepada keyakinan dan ketaqwaan. Amin. [Jakarta, 7 Desember 2007/www.hidayatullah.com]