Sabtu, 16 Januari 2010

Perjalanan Menuju Kematian






Sumber informasi yang pasti benar dan tidak berubah sepanjang masa hanya datang dari Dzat Pencipta, Allah swt, berupa wahyu-wahyu-Nya yang tertuang di dalam Al Qur’an. Tidak ada campur tangan sedikitpun dari manusia untuk merubah atau merekasanya. Tidak ada keraguan sedikitpun perihal kebenarannya. Petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Allah swt berfirman, “Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” Al Baqarah : 1-2

Informasi tentang perjalan hidup seorang anak manusia dengan jelas digambarkan Allah swt di banyak tempat di dalam Al Qur’an. Yang secara jelas menunjukkan bahwa manusia ini menapaki umurnya, menjalani hidupnya untuk menuju sebuah kematian. Setiap bani Adam akan mengalaminya, mukminkah ia atau munafik atau orang kafir.

Seorang penyair mengatakan :Sesungguhnya kamu adalah rangkaian dari hari-hari

Jika satu hari berlalu, maka jatah hidup kamu berkurang

Sampai akhir ajal menjelang

Perjalanan menuju kematian ini diinformasikan Allah swt dalam firman-Nya :

Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami berbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Maka apabila dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: “Jadilah”, Maka jadilah ia.” Al Mu’min : 67-68.

Ayat yang senada dengan ini disebutkan dalam surat Al Hajj : 5-8

” Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah,Dialah yang haq. Dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur. Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa Kitab (wahyu) yang bercahaya.”

Subhanallah, gambaran perjalanan seorang anak manusia yang sangat detail dan menakjubkan.

Ujung dari perjalanan seorang manusia di dunia ini adalah kematian. Kematian selalu mengintai manusia. Suka tidak suka, mau tidak mau setiap manusia pasti akan mengakhiri hidupnya. Sudah banyak saudara-saudara kita yang meninggalkan dunia ini satu demi satu.

Kematian adalah sebuah kepastian. Namun bagaimana kita mati, itu adalah pilihan. kita tinggal pilih, mau meninggal dalam kondisi husnul khatimah atau su’ul khatimah, wai iyadzubillah. Karena itu persoalannya adalah: Bagaimana kondisi kita saat ajal menjelang ? Bagaimana seorang mukmin mengakhiri hidupnya ? Bagaimana orang munafik dan orang kafir menghembuskan nafas terakhirnya ?

Kematian adalah tahapan yang paling sulit dalam kehidupan setiap manusia. Kondisi ini barbanding sama dengan baik atau buruknya seseorang dalam hidupnya. Allah swt berfirman : ”Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” Qaf : 19

Dalam hadits sahih Rasulullah saw menegaskan :

قال: صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح: (إن للموت سكرات)

”Sungguh kematian itu disertai sekarat”. HR. Al Bukhari (Tafsir Al Qurtubhi, Juz 6, Hal 133)

Sakaratul maut adalah kondisi yang sangat berat dan dahsyat bagi setiap manusia. Tak terkecuali Rasulullah saw pun menghadapi hal yang sama. Namur beliau mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan langsung dari Allah swt.

عن عائشة أيضاً قالت : « لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو بالموت وعنده قدح فيه ماء وهو يدخل يده القدح ثم يمسح وجهه بالماء ثم يقول : اللهم أعني على سكرات الموت »

Dari Aisyah ra berkata, ”Saya melihat Rasulullah saw ketika maut menjelang, sedangkan di dekatnya ada tungku berisikan air, kemudian ia memasukkan tangannya ke dalam tungku itu, lalu mengusap wajahnya dengan air sambil berdo’a: ”Ya Allah, tolong saya saat menghadapi sakaratul maut.” HR. Al Hakim

Saking beratnya sakaratul maut itu, Rasulullah saw mengeluarkan keringat dingin di keningnya yang mulia. Bahkan Fatimah, putri Rasulullah swt yang berada di dekat ayahnya merasakan merinding ketika sakaratul maut itu datang menjemputnya.

Para ulama menyimpulkan tanda keluar keringat dingin menunjukkan seseorang itu malu kepada Allah swt saat hendak perjumpa dengan-Nya, lantaran tidak sebanding karunia yang Allah berikan kepadanya dengan ketaatan yang ia persembahkan kepada-Nya. Atau keringat dingin itu pertanda pertaubatan yang sebenarnya dari seorang anak manusia.

Saat sakaratul maut inilah perjuangan yang sangat menentukan nasib seseorang. Ketika itu pertaruangan antara pasukan setan dan para Malaikat berkecamuk, sampai-sampai Malaikat Jibril turun langsung membantu menyelamatkan orang shalih.

Dikisahkan, bahwa Imam Ahmad bin Hambal saat mengalami sakaratul maut, ditalkin oleh anaknya untuk bersyahadah. Namun sang Imam mengatakan tidak, berkali-kali kondisi itu sampai akhirnya ia tak sadarkan diri. Ketika siuman, sang anak bertanya: Kenapa ayah menolak untuk mengucapkan kalimatud tauhid ? Ayahnya menjawab, Sungguh setan-setan berebut memperdaya saya untuk tidak bersyahadah. Sampai-sampai di antara setan-setan itu ada yang menggigit jari-jari kaki saya.

Sebagian ulama tafsir ketika menafsirkan surat Fushshilat ayat 30, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” turunnya para malaikat termasuk malaikat Jibril membantu meringankan proses sakaratul maut orang shalih melawan tipu daya setan.

Gambaran beratnya proses sakaratul maut juga diibaratkan dengan hunusan pedang dan tajamnya gergaji. Rasulullah saw bersabda :

وروي: (إن الموت أشد من ضرب بالسيوف ونشر بالمناشير).

”Sesungguhnya kematian itu lebih dahsyat dari sabetan pedang dan lebih pedih dari potongan gergaji” (Tafisr Al Qurthubi, Jilid 17, hal 13)

Nabiyullah Isa alaihissalam juga mengajarkan do’a kemudahaan saat sakaratul maut kepada hawariyyun –para pendukungnya-.

وقال عيسى بن مريم: (يا معشر الحواريين أدعوا الله أن يهون عليكم هذه السكرة) يعني سكرات الموت.

Nabi Isa berkata : ”Wahai para pendukungku, berdoa’alah kepada Allah agar meringankan sakaratul maut kalian.”

Dalam do’a-do’a yang sering kita lantunkan, kita meminta dengan kerendahan hati ”Ya Allah, kami memohon kepada Engkau keselamatan dalam agama, kesehatan badan, keberkahan rizki, taubat sebelum ajal, kasih sayang saat ajal, ampunan setalah mati. Ya Allah, mudahkanlah bagi kami saat sakaratul maut menghadap, ampunan ketika hari penghitungan, dan selamat dari api neraka.”

Semoga kita diwafatkan oleh Allah swt dalam kondisi kening mengeluarkan keringat dingin sebagai wujud pertaubatan sejati dan penerimaan Allah swt insya Allah, amin ya Mujibas sa’ilin. Allahu a’lam

dakwatuna.com

Yakin Akan Datangnya Pertolongan Allah

Kategori : Nasihat / Perbaikan Diri Selasa, 17 Juni 2008 @ 07:47:00

''Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Sehingga, Allahlah yang harus memberi rezeki kepadanya dan kepadamu, Dialah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'' (QS Al Angkabut [29]: 60).

Betulkah ekonomi yang tak menentu sekarang ini yang menyebabkan 'penyakit' panik sangat mudah menyerang bangsa kita? Barangkali tidak, jika kita menyelam ke inti persoalannya, bahwa bukan semata-mata krisis ekonomi, melainkan kita umumnya tidak memiliki keyakinan. Karena tidak optimistis, kita menjadi gamang, marah, takut, dan khawatir yang berlebihan. Selanjutnya, tidak adanya keyakinan itu kadang mendorong kita nekat bertindak yang tak terhormat.

Tanpa keyakinan, manusia tak bisa hidup. Akan terus diselimuti keragu-raguan yang mematikan. Keraguan itu menjadi sebab dari ketidaktenangan hidup dan perasaan tidak aman. Maka, kita harus yakin bahwa kita hidup di dunia ini bukan kemauan kita sendiri. Bukan karena kemauan orang tua. Juga tidak atas usulan siapa pun juga. Kita lahir dan hidup di dunia ini karena kehendak Allah.

Karena lahir dan hidup atas kehendak-Nya, maka Dialah yang akan mengurus kita. Jika Allah telah menciptakan kita, maka Dia tentu yang memelihara kita. Keyakinan ini harus ditanamkan pada diri kita, agar tidak takut menghadapi kesulitan hidup. Bukankah kehidupan itu sendiri merupakan bagian dari ciptaan Allah?

Bagaimanapun hebatnya krisis, tak perlu takut dan khawatir kekurangan rezeki Allah. Yang menjamin rezeki kita selama ini bukan manusia atau negara. Melainkan Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kepada-Nya kita meminta dan mohon bantuan serta perlindungan-Nya. Jika suatu persoalan diselesaikan dengan emosi, hasilnya pasti merugikan masyarakat dan diri sendiri. Bila kini kita diuji dengan krisis ekonomi, maka dengan modal keyakinan kita gerakkan seluruh potensi yang kita miliki untuk mengatasinya.

Memang diperlukan sedikit kesabaran, di samping kerja keras dari semua komponen di negeri ini. Jaga kesatuan dan persatuan, dengan itu kita bisa maju. Sebaliknya, jika kita terpecah dan saling menyalahkan kehancuran akan datang. ''Bersatu (jamaah) akan mendapatkan rahmat, dan berpecah belah mendapatkan bencana (azab).'' (HR Ahmad). Dan, siapa yang akan menyanggah janji Allah bahwa dia menjamin akan mengangkat setiap problem kita? ''Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.'' (QS Al Insyirah [94]: 5-6).

Ayat tersebut diulang sampai dua kali secara berturut-turut, yang maksudnya untuk menyakinkan kita bahwa bersama kesulitan itu ada solusi yang terbaik. Masihkan kita tidak yakin, masihkan kita gamang melihat hidup?

Pohon yang Digugurkan Daun Dosanya






Tiap-tiap yg berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu akan dikembalikan. (QS 21:35)

Di saat terbaring di ranjang, ketika sakit menggerumus, wajahmu Emak yang membayang. Wajahmu Emak menjadi obat yang menumbuhkan kekuatan di tubuh. Bayang kehadiranmu Emak, menjadi spirit kekuatan, ketika setiap orang sakit senantiasa merasa tiada berdaya. Tapi, lelaki berusia 50-an yang terbaring di ranjang sebuah rumah sakit, kini merasa berdaya. Betul, beberapa hari sebelumnya, ia merasa menjadi manusia sia-sia lantaran tidak mampu menanggung rasa sakit. Bahkan, ia merasa Allah yang belakangan kian rajin dihampiri-Nya, menampik kasihnya. Bukankah bila Ia membalas kasihnya, demikian ia berpikir, tidak akan mengirimkan sakit kepadanya?

Di puncak rasa putus asa, lelaki berusia 50-an itu, teringat kepada almarhumah emaknya. Emaknya menghabiskan sebagian kehidupannya dengan deraan sakit. Pelbagai jenis penyakit, mulai jantung, hipertensi, kanker, silih berganti menggerumus tubuh sang emak. Bahkan, vertigo yang kemudian turut melumpuhkan sistem saraf, membuat perempuan tua itu terbaring terus menerus selama lebih tujuh tahun. Akibatnya, ketika lima anaknya menikah, membuatnya tidak dapat sepenuhnya meneguk kegembiraan seperti jamaknya orangtua yang menikahkan putra-putrinya. Ia hanya berbaring sendirian membayangkan rona keriaan di wajah anak-anaknya.

Begitu menderita kehidupanmu, wahai Emak? Sang emak justru belajar makna kesabaran dari setiap penyakit yang silih berganti mendera. Tiada keluhan berkepanjangan. Ia tidak menyesali Allah yang belum juga memberi kesembuhan padanya. Anak-anaknya jarang menemukannya berlinang air mata ketika kehidupannya hanya sebatas ranjang. Sebaliknya, ia tetap melaksanakan ibadah ketika hanya mampu berbaring, menghabiskan waktunya dengan berzikir.

Kendati kehidupannya sebatas ranjang, perempuan tua itu tetap semangat mengikuti perkembangan yang ada di luar kamarnya. Bahkan, lebih mengagumkan lagi, ia menjadi sumber wejangan: tidak hanya bagi anak-anaknya tetapi handai taulan yang mengunjunginya. Tak jarang, ia menasihati handai taulan yang tertimpa musibah ringan laiknya jemari tertusuk duri, agar bersabar dan tawakal.Tak mengherankan, bagi anak-anaknya termasuk pria berusia 50-an yang diserang sakit, sang emak menjadi simbol kesabaran dan keikhlasan dalam menempuh ujian sakit. Tapi, siapakah yang mengirim spirit untuk mampu bertahan? Ketika anak-anaknya pernah mengeluh karena kasihan melihat orang tuanya terus menerus terbaring, sang emak justru yang menyabarkan. ''Sakit itu ujian bagi kesabaran. Ini belum seberapa. Nabi Ayub saja yang menjadi utusan Allah lebih parah menerima cobaan sakit tetapi ia tetap tawakkal. Saat ia sujud, ulat yang ada di borok kepalanya terjatuh, tetapi dipungutnya dan dikembalikannya ke tempat semula,'' ujar sang emak mengutip kisah dari guru mengajinya semasa sehat.

Memang, Ayub menjadi simbol kesabaran, di tengah derita sakit. Allah pun mengisahkan: dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: ''(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang'' (QS 21:83). Tiada seikhlas Ayub dalam menerima sakit sehingga Allah mengirimkan kesembuhan seperti sang emak di usia senjanya menerima kesembuhan-Nya.

Mengapa Ayub dan agaknya emaknya dapat tawakal? Nabi Ayub merupakan refleksi dari kesabaran dalam menerima penderitaan sakit. Ayub menjadi sumber inspirasi bagi emak maupun setiap Muslim yang sabar dalam menerima cobaan-Nya. Bukankah Allah telah menjanjikan ujian dan cobaan untuk membuktikan keimanan seperti terkandung di dalam Alquran: Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ''Kami telah beriman'', sedang mereka tidak diuji lagi?...Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka (QS 29: 2-3).

Cobaan itu dapat dalam pelbagai bentuk: penyakit, meninggal orang yang dikasihi, maupun musibah. Ujian pun dapat hadir dengan rupa kekayaan yang melimpah. Tragisnya, terkecuali pelbagai penderitaan, kita seringkali merasa kekayaan dan kesenangan bukan cobaan, sehingga tergelincir lupa diri. Tak ayal, telah menjadi 'kodrat' manusia, ketika hidupnya senang melupakan Allah dan bersikap sebaliknya ketika mengalami kesengsaraan. Semua itu menyebabkan Nabi Muhammad bersabda, ''sesungguhnya bagi setiap umat ada ujian dan ujian bagi umatku ialah harta kekayaan'' (HR Turmudzi).

Demi menegaskan hal itu, Nabi suatu kali bersabda: ''Demi Allah! Bukanlah kefakiran atau kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi justru aku khawatir kemewahan dunia yang kalian dapatkan sebagaimana telah diberikan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian bergelimang dalam kemewahan itu sehingga binasa, sebagaimana mereka bergelimang dan binasa pula'' (HR Bukhari).

Cobaan sebagai bentuk ujian seringkali dilipatgandakan bagi hamba yang alim dan berusaha menghampiri-Nya. Kenapa? Semakin seseorang ingin menghampiri-Nya, semakin Allah berusaha menguji kadar keimanannya. Tidak mengherankan, semua nabi mengalami pelbagai cobaan, seperti Ayub dengan penyakit maupun Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anak kesayangannya. Nabi Muhammad pun bersabda: ''Tingkat berat ringannya ujian disesuaikan dengan kedudukan manusia itu sendiri. Orang yang sangat banyak mendapatkan ujian itu adalah para nabi, kemudian baru orang yang lebih dekat derajatnya kepada mereka berurutan secara bertingkat. Orang diuji menurut tingkat ketaatan kepada agamanya'' (HR Turmudzi).

Dengan demikian, selaiknya kita tidak menduga-duga bila seseorang yang menderita akibat cobaan, sebagai bentuk hukuman. Kenapa? Dengan ujian yang berat, sang insan belajar sabar dan ikhlas, untuk menerima segenap cobaan. Bukankah Nabi Ayub --maupun sang emak dalam kisah ini-- menggunakan cobaan berupa penyakit sebagai sarana membangun ikhlas dan ibadah?

Kemampuan menjadikan cobaan sebagai sarana beribadah sekaligus sabar dan ikhlas, sejatinya menghantar seseorang menghampiri dan menjadi kekasih-Nya; suatu maqom yang menjadi idaman pejalan ruhani. Dengan kesabaran dan keikhlasan menerima ujian tersebut, sejatinya pejalan ruhani akan menemui-Nya, dalam keadaan tiada berdosa (lihat HR Muttafaq alaih dan Turmudzi). Maka, wahai Emak, engkaulah melalui keikhlasan dalam menerima cobaan, menjadi pohon yang digugurkan daun dosanya.

Membelitkan Lidah






...dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah (QS Al Baqarah [2]:140)

Engkaukah Isa Baba yang menjadi pewaris Qarun? Kesenanganmu terhadap harta, menyebabkanmu sudi berlaku zalim, terhadap sesamamu. Engkau menjadi simbol ketamakan dan kezaliman seperti Qarun di masa kenabian Musa bagi negeri yang memproklamirkan dirinya sebagai kerajaan Islam. Tapi siapakah engkau sesungguhnya Isa Baba? Dunia mengenalmu sebagai pendidik.

Dengan demikian, engkau semestinya menjadi sumber pengetahuan dan kebijaksanaan, bagi para muridmu. Engkau tidak sekadar mengajarkan pengetahuan tetapi juga nilai-nilai moral. Sesuatu yang semestinya akan terus menjadi suar bagi kehidupan para muridmu kelak. Bukankah nilai-nilai moral yang menjadi panduan tetap ketika ilmu pengetahuan terus berkembang, bahkan, dapat menyilaukan di tengah perkembangannya? Maka demi semua itu, engkau terus menimba, karena sejatinya pembelajaran tiada pernah berhenti. Di sisi lain, bukankah marwah seorang pendidik, berbentuk ketulusan untuk terus belajar.

Ketulusan belajar semestinya menawarkan kearifan: dengan kerendahan hati, memetik tangkai pengetahuan, dari pelbagai ladang pengetahuan. Engkau pun melakukan hal tersebut. Ketidaktahuan menyebabkanmu bersedia membayar jasa seseorang yang memberikan pembelajaran. Sesuatu yang semestinya merupakan nilai ideal bagi pemburu ilmu. Tapi, mengapa nilai ideal yang semestinya engkau genggam, justru dicampakkan? Sesudah mendapatkan yang engkau perlukan, justeru engkau hai Ishak Baba, membelitkan lidah: berdalih macam-macam sembari menolak pembayaran atas jasa yang diterima. Engkau yang semestinya menjadi panutan justeru telah menjadi orang yang ingkar.

Bukankah membelitkan lidah merupakan ciri orang zalim? Mengingkari janji atas kebenaran-Nya dan menjadikan anak sapi sebagai pengganti sembahan, menyebabkan Bani Israil menjadi kumpulan zalim. Mereka mengetahui kebenaran-Nya tetapi menyembunyikannya. Mereka semena-mena sembari mengingkari kebenaran-Nya demi mengutamakan kemewahan. Islam mengajarkan penganutnya untuk "katakan yang benar itu benar dan salah itu salah." Bahkan, Allah berfirman, Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah. (QS Az Zumar [39]:32).

Begitu kerasnya Allah mengingatkan para pendusta hingga berulang-ulang mengingatkan, di antaranya lihat juga QS Ali Imran [3]:94; Al An'am [6]:93, 157; Yunus [10]:17; dan Hud [11]:18). Isa Baba tentu sekadar sebuah nama. Ia bisa menjadi Ali Baba, Nurrokhman Zaman, ataupun Alimin Karim (nama menjadi bermakna karena perilaku dan amal-ibadah penyandangnya). Yang terpenting ialah sosok-sosok semacam itu dapat berada di mana-mana. Ishak Baba bisa berada di Malaysia, Indonesia, bahkan, nun di pelosok bumi yang jauh. Begitupun perilakunya: mulai sekadar ingkar janji, hingga pada tindakan yang bengis seperti membunuh ataupun menyingkirkan orang yang berani menyatakan kebenaran.

Mengapa selalu ada orang yang zalim dalam kehidupan ini? Allah telah mengingatkan melalui Alquran surah Al-Qashasash (cerita-cerita). Allah, bahkan, mengenalkan tokoh antagonis pertama di bumi yaitu Fir'aun dengan kroninya seperti Qarun, di surah ke-28 pada Al-Quran. Demi kemewahan (baca: kekuasaan) yang disenangi, Fir'aun menjadi sosok zalim yang diperkenalkan Allah. Ia menyembunyikan kebenaran sejati (ajaran Allah) karena ia beranggapan dirinya adalah kebenaran. Maka Raja Mesir itu menindas setiap orang yang mencoba menyuarakan kebenaran. Akibatnya?

Allah memberikan balasan setimpal. Fir'aun atau siapapun pada kekinian yang menyenangi keingkaran seketika menerima buah kesenangannya: dikelilingi sosok yang gemar membelitkan lidah karena kemunafikannya. Fir'aun, misalkan, dikelilingi sosok seperti Qarun yang gemar menyembunyikan kebenaran demi menyenangkan atasan. Qarun lebih senang menyanjung sembari menyembunyikan kebenaran karena Fir'aun merupakan sosok yang ingkar. Dengan berbohong, membuat Qarun menumpuk kemewahan yang disenanginya. Dalam bentuk lain di tengah keseharian, kita pun sering menyaksikan pimpinan yang zalim, mendapatkan anakbuah yang zalim.

Bahkan, negara ini pernah dan selalu menjadi pentas kezaliman penguasa, dikelilingi para badut. Ironisnya, di saat kekuasaan berada di titik nadir dan pentas hampir usai, para badut bertempik sorak: mereka seketika ramai-ramai mengingkari kekuasan sang tokoh zalim. Memang kezaliman senantiasa membuahkan kezaliman. Seseorang yang zalim akan menerima buah kezalimannya dari orang yang juga zalim. Begitu indah dan sempurna Allah membuat hukuman berdasarkan ketentuan-Nya (sunnahtullah). Allah, bahkan, telah mengingatkannya: Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa'at yang diterima syafa'atnya (QS Al Mu'min [40]:18).

Begitupun firman-Nya, Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. (QS Al An'am [6]:129). Sayang, hati kita seringkali tertutupi, sehingga tidak mampu menangkap makna firman-Nya di Al-Quran. Kita enggan merenungkan kandungan Al-Quran dan sunnahtullah yang begitu sempurna mengelilingi kita: orang-orang zalim senantiasa dikelilingi sesamanya, bahkan, mendapatkan buah kezalimannya. Sesuatu yang sejatinya mencerminkan betapa nelangsa dan sepi kehidupan para penzalim. Keengganan tersebut menyebabkan pewaris Fir'aun maupun Qarun terus bertebaran di muka bumi. Demi kemewahan yang disenangi - kemewahan dapat berarti kekuasaan maupun harta-benda mereka meneruskan lakon Fir'aun maupun Qarun. Mereka, para penzalim itu, telah ditulikan ketika Allah mengingatkan kelak akan meleburkan orang-orang zalim dengan suara lengkingan.

Mensucikan Hati








''Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (Ali-Imron: 133-134).

Amarah merupakan tabiat manusia yang sulit untuk dikendalikan. Dan, Allah menjadikan orang yang mampu untuk menahan amarahnya sebagai salah satu ciri orang yang bertakwa. Di samping itu Allah akan memberikan pahala kepada orang yang menahan amarahnya lalu memaafkan mereka yang menyakitinya. Allah berfirman, ''Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.'' (Asy-Syuura: 40).

Abu hurairah meriwayatkan bahwa pada suatu hari, seorang lelaki mendatangi Rasulullah SAW. Ia berkata kepada beliau. Ya Rasulullah! Nasihatilah saya! Sabdanya, ''Janganlah engkau marah.'' Lalu beliau ulangkan beberapa kali, dan sabdanya, ''Jangan engkau marah.'' (HR Bukhori).

Penekanan Rasulullah SAW di atas menunjukkan betapa pentingnya menahan amarah. Karena ia adalah penyebab terjadinya pertikaian, perpecahan, dan permusuhan. Dan bila ini terjadi, maka akan membawa dampak negatif kepada umat Islam. Oleh sebab itu pula, Islam tidak membenarkan seorang Muslim untuk saling bertikai dan saling berpaling satu sama lain melebihi dari tiga malam.

Sahabat Abu Bakar ra pernah mendapatkan teguran dari Allah SWT karena kemarahan yang dilakukannya dengan bersumpah untuk tidak memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri Aisyah. Allah berfirman, ''Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat-(nya).

Betapa indahnya dunia ini, jika setiap orang berusaha menahan amarahnya. Pertikaian, kerusuhan, permusuhan di mana-mana tidak akan terjadi. Karena kejahatan yang dibalas dengan kejahatan tidaklah memberikan solusi, namun menambah persoalan dan memperpanjang perselisihan.

Rabu, 13 Januari 2010

Mumpung Masih Diberi Waktu

Mumpung Masih Diberi Waktu

Oleh: Gede Prama
Setiap mengakhiri sebuah tahun, semua orang dihadang oleh sebuah kenyataan betapa cepatnya sang waktu berputar dan berlalu. Dan secara tiba-tiba, baru sadar ketika ada sahabat atau kerabat yang dipanggil kematian. Di situ kita baru merenung, kita masih diberi sisa waktu.
Mungkin Anda punya kenangan tersendiri dengan tahun 2001, demikian juga saya. Ada sejumlah catatan dan jejak waktu yang tertulis dalam sejarah saya di tahun 2001. Ada kejadian diangkat menjadi presiden direktur sebuah perusahaan swasta dengan dua ribuan karyawan di awal tahun, dan di akhir tahun diangkat lagi oleh sang kehidupan untuk menjadi presiden direktur sebuah perusahaan dengan empat puluh ribuan karyawan. Ada juga catatan-catatan yang menyedihkan seperti pernah diteror orang, didatangi karyawan yang marah sambil mengancam manajernya dibunuh di depan saya. Dan masih ada lagi catatan lain yang terlalu panjang untuk diceritakan. Boleh saja ada orang yang berdecak kagum, atau menyimpan kebencian setelah melihat catatan ini. Namun, bagi saya pribadi ada yang jauh lebih membanggakan dari diangkatnya saya oleh sang kehidupan dua kali di tahu 2001 di posisi tertinggi. Setelah mencoba beberapa kali di tahun-tahun sebelumnya, baru di tahun 2001 saya berhasil menemani sahabat-sahabat muslim berpuasa sebulan penuh. Inilah prestasi yang paling saya banggakan di tahun 2001.
Mirip dengan kejadian sebelumnya, di mana sejumlah sahabat mengira saya seorang kristiani ketika banyak menulis soal cinta dan kasih sayang, ada juga yang mengira saya seorang buddis ketika mereka tahu kalau saya seorang vegetarian, demikian juga dengan kegiatan berpuasa sebulan tadi. Bawahan di kantor yang biasa melayani saya membelikan makan siang, ada yang berbisik kalau saya sudah menjadi seorang muslim. Tentu saja semuanya hanya saya jawab dengan senyuman. Dan ada yang lebih penting dari sekadar memasukkan kegiatan-kegiatan membanggakan ini ke dalam kotak dan judul tertentu. Yakni, bagaimana sang waktu diisi.
Kadang ada anggota keluarga – terutama isteri – yang kasihan melihat saya menempuh jalan-jalan kehidupan seperti ini. Dulu, ketika berada pada kehidupan yang amat di bawah dan amat jarang bisa membeli daging, bermimpi bisa makan daging setiap hari. Sekarang, ketika membeli daging bukan lagi menjadi sebuah kegiatan yang teramat sulit untuk dilakukan, tiba-tiba saya memutuskan hubungan dengan kegiatan makan daging. Dulu, ketika makan adalah sebuah kemewahan dan hiburan yang amat menyenangkan. Sekarang ketika membeli makanan adalah sebuah perkara kecil, malah berpuasa dalam waktu sebulan. Demikianlah kira-kira isteri saya kadang mengeluh di rumah. Dan semua keluhan ini hanya saya jawab dengan senyuman sederhana plus kalimat sederhana : mumpung masih diberi waktu.
Serupa dengan lagu indah Ebiet G. Ade yang berjudul ‘Masih ada waktu’, hidup memang sebuah perjalanan abadi. Hanya karena kehendakNya, kita masih bisa melihat matahari. Ebiet memberikan kita sebuah alternatif yang layak untuk direnungkan : bersujud. Satu spirit dengan saran bersujud ala Ebiet, Kahlil Gibran dalam The Prophet pernah menulis : ‘your daily life is your temple and your religion’. Kehidupan sehari-hari Anda adalah tempat sembahyang sekaligus ‘agama’ Anda. Sulit membayangkan, bagaimana seseorang yang menyebut dirinya beragama tetapi setiap hari pekerjaannya hanya menyakiti hati orang lain. Susah dimengerti, kalau ada orang yang datang ke tempat ibadah demikian rajinnya, atau menyumbangkan dana besar untuk pembuatan tempat ibadah, tetapi hampir setiap hari mencuri uang orang lain.
Dalam bingkai-bingkai Ebiet dan Gibran, mungkin lebih menyentuh hati orang-orang biasa yang tidak pernah menyumbang, tidak pernah menyebutkan agamanya, tetapi mengisi waktu-waktunya dengan cinta dan kasih sayang. Atau orang-orang yang namanya tidak pernah menghiasi media, tidak dikenal siapapun, namun mengisi hari-harinya dengan senyuman buat kehidupan. Atau orang yang tidak pernah menduduki satu kursi jabatanpun, tidak menyandang gelar apapun, namun menunjukkan keteladanan-keteladanan kehidupan yang mengagumkan.
Terinspirasi dari pemikiran-pemikiran orang seperti Ebiet dan Gibran inilah, saya merelakan diri hidup dalam jalur-jalur yang oleh kebanyakan orang disebut menyengsarakan. Tidak untuk gagah-gagahan, tidak juga karena haus akan pujian, akan tetapi melalui solidaritas, disiplin diri, kesederhanaan saya sedang mengukir sang hidup dengan catatan-catatan waktu. Dan ketika suatu waktu putera puteri saya, atau orang lain membuka serta membacanya, mereka akan tahu, pernah ada seorang ayah atau seorang penulis yang hidup dengan tingkat solidaritas dan disiplin diri tenrtentu. Kemudian, membuahkan kehidupan yang hanya mengenal bersujud di depan Tuhan. Sebagai orang yang bergaul ke mana-mana, kerap saya diberikan banyak kartu nama oleh banyak orang, lengkap dengan jabatan mentereng di bawah nama yang bersangkutan. Ini membuat saya berimajinasi, kalau suatu saat saya bisa memiliki sebuah kartu nama, di mana di bawah nama saya ada jabatan yang bisa mewakili kesukaan saya untuk bersujud di depan Tuhan. Mimpi ini muncul di kepala karena teringat oleh salah satu tulisan Gibran dalam The Prophet : ‘beauty is life when life unveils her holy face (kecantikan adalah kehidupan yang wajah sucinya terungkap). Dan saya berterimakasih bisa mengetahuinya ketika Tuhan masih memberi cukup waktu.

Selamat Datang Di Surga

Selamat Datang Di Surga

Oleh: Gede Prama
Setiap kali berjumpa dengan sahabat-sahabat pengusaha yang keyakinan spiritualnya agak kurang memadai, hampir setiap kali itu juga saya dihadang pertanyaan serupa : apakah surga itu benar-benar ada ?. Sebagai seorang yang bukan pakar agama, tentu saja kerap terperanjat ketika dihadang pertanyaan jenis ini.
Dengan tidak ada maksud untuk memberikan jawaban instan, izinkan saya membawa Anda pada tataran-tataran renungan yang sudah saya lewati. Sebagai seorang pekerja, saya sudah melalui enam dan menuju tujuh tempat kerja. Kalau pekerjaan sebagai konsultan dan pembicara publik dihitung, jumlah tempat kerja yang pernah saya lewati bahkan sudah tidak terhitung jumlahnya. Dan hampir semuanya memiliki dua bagian tempat yang serupa : surga dan neraka. Apapun nama perusahaannya, di manapun tempatnya, dan di waktu manapun ia berada, selalu saja ada pojokan tempat kerja dan tempat hidup yang lebih menyerupai surga, dan juga yang lebih menyerupai neraka.
Di tempat yang menyerupai surga, ada orang-orang yang lebih banyak tertawa, bersahabat satu sama lain, saling bantu bila dibutuhkan. Di tempat yang menyerupai neraka, ada orang-orang yang saling sikut, saling menjerumuskan, intrik dan politik di mana-mana, jangankan salah, benar saja bisa menimbulkan perkara.
Setelah bosan menemukan wajah-wajah dunia yang hampir serupa di mana-mana, kadang saya merenung kembali, apakah wajah itu ada pada dunia, ataukah ia hanya cerminan dari pikiran kita manusia ? Ini yang menjadi fokus pertanyaan saya dalam kurun waktu yang cukup lama. Sampai suatu waktu membaca karya Krishan Chopra (Ayah kandung pemikir terkemuka Deepak Chopra). Dalam karyanya yang berjudul The Mystery And Magic of Love, ia menulis : “Heaven and hell are states of mind, different planes of consciousness”. Dengan kata lain, apa yang kita sebut dengan surga dan neraka sebenarnya tidak lebih dari sekadar konstruksi pikiran. Dan untuk sampai dalam konstruksi surga maupun konstruksi neraka, kita memerlukan pesawat kesadaran yang berbeda-beda.
Lama saya sempat dibuat tercenung oleh gelitikan pemikiran Krishan Chopra ini. Dan sempat sedikit menggoyangkan sendi-sendi keyakinan yang sempat ditanam lama oleh agama. Dengan tidak bermaksud untuk meng-claim bahwa konstruksi Chopra ini lebih tepat dibandingkan dengan konstruksi yang diajukan sejumlah agama, mari bersama-sama kita telusuri persoalan ini.
Andaikan saya dan Anda bertemu seorang wanita menangis tersedu-sedu di pinggir jalan. Atau, menemukan seorang anak yang bergerak nakalnya bukan kepalang di tengah bus umum yang sedang Anda tumpangi. Sementara, orang tuanya hanya membiarkan saja anaknya mengganggu ketenteraman umum di dalam bus. Pertanyaan titipan saya buat Anda, apakah kedua kejadian ini sepenunya baik atau sepenuhnya buruk ?
Tanpa bermaksud mengintervensi, menurut saya amat tergantung pada pesawat kesadaran kita masing-masing. Sahabat yang kesadarannya penuh dengan tulisan di mana wanita menangis umumnya karena kejadian buruk seperti disakiti suami, atau anak nakal lebih banyak terkait dengan ketidakperdulian orang tuanya, maka kedua kejadian tadi berwajah buruk. Sebaliknya, sahabat yang wilayah kesadarannya penuh dengan gambar wanita menangis karena bersyukur dengan nikmat Tuhan, atau anak nakal lebih banyak terkait dengan kreasi dan imajinasi, kedua kejadian di atas tentu saja lebih dekat dengan hal-hal positif.
Dalam tataran renungan seperti ini, mungkin layak untuk diendapkan kembali kalau sebagian besar penglihatan kita sebenarnya diproduksi pikiran dan kesadaran. Sehingga titik tolak dari setiap perubahan seyogyanya bermula dari perlunya mengelola kesadaran. Sayangnya, kesadaran bukanlah mahluk stabil yang mudah dikelola. Sebab, dalam kehidupan orang dewasa ia sudah tergambar demikian lama dan dalam kurun waktu yang panjang.
Namun seberat dan sesusah apapun, ia mesti dilakukan oleh siapa saja yang tidak mau hidupnya didikte pikiran dan kesadaran. Ada sahabat yang bertanya soal cara, dan ini bisa dimaklumi. Namun, apapun caranya, ketekunan untuk selalu menjadi pengelola – bukan pihak yang dikelola pikiran dan kesadaran – adalah hal yang teramat penting. Anda boleh saja menggunakan cara-cara yang berbeda. Kehidupan saya bertutur, pikiran lebih mudah digambar ulang melalui ketekunan doa di depan Tuhan. Lebih-lebih kalau ketekunan doa terakhir sudah sampai di tingkatan cinta bakti. Kendaraannya hanya satu : ikhlas.
Entah Anda bisa mengikuti jalan pikiran saya atau tidak, yang jelas melengkapi pendapat soal cinta bakti, ada seorang sahabat yang pernah menulis kalimat cantik nan menawan : “We find good people good, we find bad people good, if we are good enough”. Kita akan menemukan orang baik kelihatan baik, orang jahat kelihatan baik. Syaratnya cuma satu, kita menjadi manusia yang cukup baik. Begitu sampai dalam tataran di mana kita sudah cukup baik jadi manusia, siapapun manusianya, mereka senantiasa terlihat baik. Kalau demikian, bukankah Anda sudah sampai di surga ? Selamat datang di surga !. Dan yang membawa Anda ke sini bukanlah saya. Melainkan, ketekunan Anda untuk senantiasa awas akan pikiran dan kesadaran. Dalam bahasa sahabat saya, Anda sudah menjadi the master of your own mind. Kebahagiaan, kegembiraan, kedamaian, kejernihan bukanlah barang-barang mahal bagi master jenis terakhir.